Kamis, 13 Oktober 2011

Agama Sebagai Candu
Oleh: Abdul Gaffar
“Agama adalah Candu” adalah kalimat yang sangat singkat sekaligus provokatif khususnya bagi umat beragama.
Fenomena yang terjadi belakangan ini seperti kasus hukum, terorisme, dan pencucian otak ala NII tentu menggugah kita untuk mempertanyakan kembali kalimat dari Karl Marx, sosiolog sekaligus filososf asal Jerman tersebut.
Hal ini dikarenakan betapa pentingnya pemahaman agama yang berbanding lurus dengan realitas kehidupan sehari-hari, artinya sebagai bangsa yang menganut pancasila yang mengaku adanya tuhan harus melakukan refleksi atas praktik keagamaan yang baik dan benar sesuai dengan ketentuan agama yang dianut oleh masyarakat di semua aspek kehidupannya.
Representasi nilai-nilai agama yang terkandung dalam pancasila butuh penyegaran kembali atau penegasan dari para tokoh-tokoh agama guna memerangi fenomena yang terjadi akhir-akhir ini.
Realitas umat beragama
Dalam sejarah setiap turunnya, agama telah membuktikan bahwa semua agama anti kekerasan, anti korupsi dan anti segala bentuk perbuatan yang menyebabkan kerugian bagi orang banyak. Itulah sebabnya kenapa pendiri bangsa ini sepakat menjadikan pancasila sebagai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara yang mampu mengakomodir segala kepentingan semua golongan tanpa adanya diskrimanisi dan golongan yang dinomorduakan yang akan mengakibatkan ketidakadilan bagi golongan tertentu.
Namun melihat fenomena yang terjadi di Negara kita belakangan ini rasanya roh nilai-nilai semua agama yang tercantum dalam pancasila mulai luntur bahkan seakan hilang sehingga kita tidak lagi mempnuyai pijakan dasar dalam menjalankan bangsa yang beradab yang jauh dari segala manipulasi duniawi dan keadilan bagi segenap komponen bangsa.
Seperti yang kita ketahui Agama diturunkan bukanlah sebagai opium yang mampu menjanjikan manusia kenikmatan sesaat yang akan membawa manusia keluar dari segala masalah yang dihadapinya, namun agama diturunkan sebagai pedoman bagi manusia untuk menuju tuhan yang diyakini. Melalui kitab sucinya, agama menawarkan cara-cara yang sempurana kepada semua umatnya bagaimana cara menjalankan kehidupan dunia maupun akhirat. Semua agama pada dasarnya mengajarkan semua yang baik, tidak ada satupun agama yang membolehkan kekerasan, tidaka ada satupun agama yang membenarkan umatnya mengambil sesuatu yang bukan haknya.
Kalimat agama adalah candu jika dipertentangkan langsung dengan kitab-kitab suci agama tentu tidak akan menemukan relevansinya, namun kalau kita mau melihat secara obyektif kalimat tersebut akan menemukan kebenarannya. Sebagaimana latarbelakangnya sebagai seorang sosiolog dan filosof tentu Marx akan melihat realitas kehidupan masyarakat dalam konteks kehidupan bernegara dimana semua golongan akan bersentuhan secara langsung satu sama lain bukan secara normatif seperti para Pendeta di Gereja ataupun Dai yang ada di Masjid.
Secara sosiologis kita melihat realitas kehidupan umat beragama kadang jauh dari ajaran-ajaran dasar yang mereka anut, agama dalam relaitasnya lebih banyak digunakan sebagai obat penenang yang mampu mengobati segala penyakit sosial sesaat, sekaligus sebagai sandaran untuk mencari pembenaran atas kesalahan yang telah dilakukan melaui ibadah-ibadah ragawi yang dilaksanakana secra rutinitas.
Tentu seperti yang kita ketahuai agama datang karena sebuah kebutuhan akan pentingnya petunjuk bagi semua umat manusia untuk menjalankan segala aktivitasnya dengan benar tanpa harus merugikan orang lain, akan tetapi seperti yang kita lihat sejarah semua agama dari sejak adanya agama tersebut sampai sekarang telah membuktikan betapa agama sering digunakan atau dimanipulasi oleh kelompok tertentu untuk memperoleh keuntungan atau menghindar dari kesalahan yang telah dilakukannya.
Jika dipertentangkan dengan relaitas yang ada pada masyarakat dan dipertegas denga filosofi turunnya agama, kalimat agama adalah candu tentu akan menemukan relevansinya dalam konteks sekarang, karena kalau kita lihat fakta bahwa agama sering tidak dilihat secara benar, namun agama dilihat sesuai dengan seleranya sehingga agama hanya sebagai tempat pembenaran semata atau sebagai tempat penenang bagi umat yang mengaku beragama.
Terorisme, pencucian otak oleh kelompok NII adalah salah satu bukti bahwa realitas agama yang digunakan untuk obat penenang dalam menghadapi permasalahan kehidupan, sehingga tidak salah secara sosiologis konteks sekarang agama adalah candu menemukan titik temunya. Sedangakan tragedi hukum yang diwarnai dengan manipulasi hukum untuk kepentingan pribadi maupun kelompok dan merajalelanya korupsi adalah bukti nyata bahwa agama berjalan ditengah para penganutnya sebagai candu atau obat penennag bahkan agama dijadikan sebagai tempat pembenaran tindakan yang melanggar dasar-dasar ajaran agama yang dianutnya.

Sabtu, 28 November 2009

Selasa, 24 November 2009

TRADISI PENDIDIKAN YANG DI BENTUK DALAM PESANTERN
A. PENDAHULUAN
Pesantren adalah lembaga pendidikan khas Indonesia yang sudah berabad-abad teruji mampu menghadapi dan sekaligus beradaptasi dengan berbagai bentuk perubahan. Ciri khas pesantren sebagai lembaga pendidikan terletak pada system pendidikan yang dibangun di dalamnya, hierarki kekuasaan antara santri, pengurus dan pengasuhnya, nilai-nilai yang ditanamkan dan hubungannya dengan masyarakat di luar pesantren. Ciri khas ini mengharuskan adanya perspektif yang khas pula dalam melihat dan memahami pesantren, sehingga pengamatan dan kesimpulan yang dihasilkan lebih objektif dan mereprentasikan realitas keahidupan pesantren secara utuh.
Pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua di Nusantara yang masih bertahan hingga kini. Ketahanan dan daya hidup pesantren terletak pada tradisinya yang kokoh dan peranannya yang sangat besar dalam berbagai kehidupan masyarakat. Pesantren adalah tempat mencari ilmu bagi masyarakat, tempat di mana mentalitas dan moralitas santri dibentuk berdasarkan ajaran Islam, tempat masyarakat belajar hukum-hukum agama praktis yang bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari, tempat para pejuang dididik mencintai Negara dengan ilmu, semangat kebangsaan dan kekebalan untuk melawan kolonialisme, tempat masyarakat bertanya tentang berbagai hal kehidupan pada kiai, dan juga tempat di mana nilai-nilai diseleksi untuk kemudian diinternalisasikan dalam kehidupan bersama antara pesantren itu sendiri dan masyarakat di sekitarnya.
Pandangan stereotype dan stigmatisasi yang dilakukan oleh antropolog kenamaan Amerika Clifford Geertz yang menggolongkan orang-orang pesantren sebagai orang Islam “kolot”, karena kehidupan keagamaan pesantren hanya berkisar pada “kuburan dan ganjaran”. Dengan asumsi dan penilaian seperti itu, para pengamat telah mencapai consensus bahwa pesantren, kiai dan NU adalah penghambat kemajuan modernisasi dan pembangunan. Atau lebih tepatnya penghambat nilai-nilai dan kepentingan barat terhadap Islam dan Indonesia.
Study yang dilakukan Zamakhsyari Dhofier terhadap Pesantren Tebuireng di Jombang Jawa Timur dan Hiroko Horikoshi terhadap Kiai Yusuf Tajri dari Cipari Garut Jawa Barat. Dhofier menunjukan gambaran dunia nyata dunia pesantren berdiri teguh di atas landasan tradisi masa lampaunya. Namun dengan landasan tradisi itulah perubahan dikelola, di mana ada elemen-elemenlama yang dibuang, dan kemudian dimasukkan elemen-elemen baru, dan kebiasaan-kebiasaan lama yang dibuang, sementara lembaga-lembaga baru mulai diperkenalkan. Proses ini difasilitasi oleh kiai sebagaipemimpin yang kreatif dan selalu berhasil mengembangkan pesantren dalam dimensi-dimensi yang baru, dan keberadaan pesantren sampai saat ini adalah kreasi yang jenius dari para kiai.

B. PEMBAHASAN
Pesantren merupakan komunitas yang dalam melihat dan menilai hampir semua persoalan selalu menggunakan ukuran keabsahan di muka hukum agam, yaitu fiqih. Sedangkan dalam etika bersandarkan pada nilai-nilai kesufian. Untuk bias memahami fiqih dengan baik, seseorang harus memahami bahasa Arab secara komprehensif mulai dari nahwu (morfologi), sharaf (sintaksis Arab), balaghah (sasta,retorika), mantiq (penalaran logis), dsb. Untuk memahami proses pengambilan keputusan hukum berdasarkan fiqih, harus dipahami dengan detail terlebih dahulu ushul al-fiqh, al-qawaid al-fiqhiyyah, dan masih banyak lagi.
Keunggulan pesantren adalah sifat pengajarannya yang menyeluruh meliputi semua aspek kehidupa praktis masyarakat dan pengkayaan pengetahuan di bidadang bahasa dan metodologi pengambilan keputusan hukum agama. Menurut Abdurahman Wahid, tidak ada bidang yang kehidupan yang tidah tersentuh oleh aplikasi pengajian yang diberikan di pesantren mulai dari cara- cara menyucikan diri untuk melakukan ibadah ritual hingga kepada ketentuan prosedural tata naga yang diperkenankan oleh agama.
Karena itu tandas Abdurahman Wahid, pemberian pengajian sang kiai kepada santrinya sama saja artinya dengan sebuah proses pembentukan tata nilai yang lengkap, denga cara penilaian dan orientasinya sendiri. Nilai-nilai (mores) yang tercipta dalambentuk serangkaian pembuatan sehari-hari inilah yang teripta dalam bentuk serangkaian perbuatan sehari-hari inilah yang kemudian dikenal dengan nama “cara kehidupan santri”.
Intensitas santri dalam pengajian kitab-kitab yang dipilih ketundukannya pada kiai, kemandiriannya dalam hidup sehari-hari dan otonominya dalam berpikir menghasilkan pandangan dunianya sendiri yang berbeda dengan pandangan seseorang yang belajar di luar pesantren. Karena itu seseorang biasanya mengalami perubahan drastis setelah beberapa bulan di pesantren, misalnya dalam hal tutur kata dengan orang tua atau orang lain, pola makan, waktu bangun tidur dan kedisiplinan dalam hal menjalankan sholat lima waktu.
Dengan pola seperti itu, pesantren mampu bertahan selama berabad-abad untuk memprgunakan nilai-nilai hidupnya sendiri. Karena itu, menurut Abdurahman Wahid, dalam jangka panjang pesantren berada dalam kedudukan cultural yang relative lebih kuat daripada masyarakat di sekitarnya. Kedudukan ini dapat dilihat dari kemampuan pesantren untuk melakukan transformasi total dalam sikap hidup masyarakat sekitarnya, tanpa ia sendiri harus mengorbankan identitas dirinya.
Sebagai sebuah subkultur, kepemimpinan di pesantren juga tidak kalah uniknya dengan pola-pola kehidupan lain dalam lingkungan pesantren. Kepemimpinan puncak pesantren biasanya ada pada seorang kiai kharismatik di mana segala keputusan penting harus dengan persetujuannya. Kharisma kiai biasanya didapat karena kedalaman ilmu agamanya, ke-zuhud-annya, kesaktiannya, sikap tegas dalam memimpin, konsistensi dalam memutuskan persoalan atau karena kiai tersebut adalah anak kiai besar yang memimpin pesantren tersebut pada waktu yang lampau.
Karena itu, kiai memiliki fungsi penting sebagai peneliti, penyaring dan akhirnya sebagai assimilator aspek-aspek kebudayaan dari luar yang masuk pesantren. Karena para santri nanti mengembangkan aspek-aspek kebudayaan yang telah memperoleh imprimatur sang kiai, di masyarakat mereka sendiri, dengan sendirinya peranan kiai sebagai agen budaya (cultural brokers) juga tidak dapat dianggap kecil.
Penting dicatat disini bahwa fungsi sebagai agen budaya, karena latar belakang kiai selalu dan pandangan hidup pesantren yang unik , menyebabkan kiai selalu bersifat selektif dan kritis dalam meneliti, menyaring dan mengasimilasi budaya dari luar sebelum diintegrasikan ke dalam budaya pesantren dan masyarakat. Jadi budaya baru tidak akan dengan mudah diterima di pesantren sebelum melalui proses seleksi dan penyaringan yang ketat oleh system nilai pesantren itu sendiri yang secara operasional dijalankan oleh kiai.

C. KESIMPULAN
Pesantren adalah salah satu bentuk dari lembaga pendidikan Islam yang telah berabad-abad bertahan sebagai salah satu tampat menempuh pendidikan, khusus nya pendidikan mengenai Islam. Pesantren sebagai suatu lembaga pendidikan Islam telah berhasil berjalan, bersaing dan berdampingan dengan lembaga pendidikan baik Madrasah maupun sekolah-sekolah umum.
Selama ini pesantren telah mampu membentuk identitas yang khas di antara lembaga-lembaga pendidikan lain, seperti sistem pembelajarannya, yang dipelajari dalam pesantren, hubungan pesantren dengan masyarakat setempat, kepemimpinan yang ada dalam pesantren yang dipimpin oleh seorang Kiai yang kharismatik dan berbagai ciri khas pesantren yang lain yang membedakan pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya.


D. DAFTAR PUSTAKA
Dhofier, Zamakhsyari, “Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiai, Jakarta: LP3ES, 1982.
Masdar, Umarudin, “GusDur: Pecinta Ulama Sepanjang Zaman, Pembela Minoritas Etnis-Keagamaan, Yogyakarta: KLIKR, 2005.
Wahid, Abdurrahman, “Pesantren sebagai sub-kultur”, dalam M Dawam rahardjo (ed), pesanttren dan pembaharuan, Jakarta: LP3ES, 1974.
”Pro Kontra PERDA Syariat”
A. Latar Belakang.
“Maaf tidak melayani tamu wanita yang tidak berjilbab”. Sepotong kalimat ini adalah tulisan yang tertera di atas pintu masuk rumah Kepala Desa Padang, salah satu desa di kecamatan Gantarang Bulukumba. Tidak hanya itu, Desa Padang juga sedang giat-giatnya menerapkan aturan yang menurut penggagasnya berdasarkan Syariat Islam yang terlihat melalui berbagai hal yang bernuansa Arab, seperti tulisan-tulisan di kantor Kepala Desa, papan nama di setiap rumah dan jalan seluruhnya menggunakan bahasa Arab, dengan menggunakan tulisan berwarna putih dan hijau.
Demam penegakan Syariat Islam melalui peraturan daerah saat ini memeng sedang mewabah, sealama kurun lima tahun terakhir sejak otonomi daerah mulai ditetapkan di Indonesia. Menurut sebuah media massa nasional (tempo, 14 mei 2006), tercatat sekitar 22 kota dan kabupaten yang memberlakukan peraturan daerah yang bernuansa Syariat Islam. Desa Padang adalah salah satu contoh bagaimana Syariat Islam tersebut diimplementasikan di tingkat masyarakat. Sementara itu, Kabupaten Bulukumba di Sulawesi Selatan melalui empat Pedrda-nya: perda Minuman Keras; Zakat, Infaq dan Shadaqah; Baca Tulis Al-Qur’an bagi siswa dan calon pengantin; dan Pakaian Muslim dan Muslimah; menjadi Kabupaten percontohan bagi kesuksesan penerapan Syariat Islam. Mayoritas daerah-daerah yang memberlakukan Perda ini berangkat dari ketidakpuasan mereka akan implemntasi dari aturan hokum yang sudah ada selama ini.
Perda seperti ini tentu menjadi masalah karena bagaimanpun perda seperti menyisakan banyak masalah seperti diskriminasi karena bagaimanapun Indonesai adalah bangsa yang terdiri dari berbagai macam budaya maupun agama. Bagi kelompok non-muslim, termasuk kelompok muslim, memandang penerapan Perda Syariat Islam dianggap sebagai pelecehan terhadap keberadaan produkk hukum yang sudah ada di Indonesia, melahirkan diskriminasi khususnya kalangan non-muslim, dan mengancam keragaman budaya dan keutuhan bangsa, juga tidak mengakomodir kepentingan kelompok lain serta juga bisa mengancan disintegrasi. Padahal seperti yang dikatakan Hasyim Muzadi (Ketua PBNU), Syariat Islam sebenarnya secara esensi sudah masuk melalui proses Demokrasi, seperti anti-korupsi yang memang adalah ajaran Islam bahkan semua agama.
Malam itu, Lia, 25 tahun, menjaga warung ibunya di sudut kota Tnggerang. Truk dinas Ketentraman dan Ketertiban Kota Tanggerang berhentidi depan warung Lia. Petugas langsung turun dan menyeret tangan Lia. Perempuan ini meronta dan berteriak bahwa dia bukan pelacur, tanpa menghiraukan jeritan Lia, petugas mengangkut Lia ke atas truk. Demikianlah salah satu contoh sisi gelap dari gambaran yang mungkin tak pernah dibayangkan oleh penggagas Perda Syariat Isalam di Tanggerang.
Dari 22 kota dan kabupaten se-Indonesia yang mulai menerapkan peraturan daerah bernuansa Syariat Islam terhitung mei 2006, ada yang melaui program dengan membangun peramgkat institusinya, komite Penegakan Syariat, seperti di Sulawesi Selatan, Riau, dan Garut. Tapi ada yang langsung menyususun Perda tantang kewajiban berjilbab, anti maksiat-pelacuran, atau kewajiban baca al-Qur’an. Fauzan al-Anshory dari Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) sangat mendukungnya, bahkan MMI telah menyusun dasar-dasar rujukan Syariat Islam, termasuk kitab hukum pidana Syariat. Fauzan dengan kelompoknya sangat yakin, Syariat Islam adalah jalan keluar dari problem-problem kebangsaan yang akut. Secara teologis, ia juga meyakini kalau ada orang Islam yang menolak Perda Syariat Islam berarti dia telah murtad. Lebih lanjut, ketika Perda Syariat Islam diterapkan, Fauzan mencontohkan kasus bulukumba, maka akan terjadi penurunan tingkat kriminalitas yang signifikan.
B. Analisis.
Kalau kita mau melihat atau menilai Perda syariat Islam yang mulai marak di tarapkan di berbagai daerah, kita bisa menganalisis relevan atau tidaknya Perda tersebut kita perlu mengkaji prinsip dasar yang menjadi perhatian utama dalampenataan hukum nasional kita saat ini: (a) hukum nasional tidak boleh mengancam disintegrasi bangsa; (b) harus mencerminkan azas demokrasi; (c) mengandung nilai keadilan sosial, serta (d) menghargai pluralitas.
Kita mengakui banyak titik lemah dalam hukum nasional yang diwarisi dari pemerintahan Belanda, termasuk dalam KUHP. Untuk itulah sejak tahun 1970-an sebenarnya telah dibentuk badan untuk melakukan revisi terhadap KUHP tersebut. Yang tidak sepakat dengan KUHP itu bukan hanya orang Islam, tapi banyak orang agama lain juga tidak sepakat , sehingga usulan penggantinya, maupun usulan-usulan aturan baru dalam bentuk Perda harus dipikirkan bersama, bisa dari nilai agama, tapi tidak bisa atas nama agama tertentu. Namun selama hukum baru belum jadi , semua pihak diharapkan bersabar tidak justru membuat hukum-hukum sendiri yang tidak sesuai dengan prinsip dasar hukum nasional kita. Tidak seharusnya kelompok tertentu mengusulkan konstitusi dan hukum nasional tanpa melalui prosedur yang berlaku. Hukum nasional seharusnya dibangun di atas semua sendi pluralitas bangsa, agama, dan etnisitas.
Dengan adanya Perda Syariat Islam ini tidak hanya masyarakat non-muslim saja yang tidak setuju akan tetapi kaum muslimpun sendiri tidak sepakat terahadap penerapan Perda Syariat Islam untuk tidak harus dipandang kurang keberislamannya. Mereka tetap menjalankan Syariat Islam, tapi tidak harus meminta Negara sebagai elemen pemaksanya. Perda Syariat Isalam tidak saja menyisakan banyak pertanyaan mengenai posisi minoritas, tapi juga keragaman umat Islam di Indonesia. Kalau peraturan seperti ini berkembang terus, mungkin aka nada usaha menunggalkan wajah Islam di Indonesia. Akhirnya, Syariat Islam memang penting menyumbangkan gagasannya dalam hukum nasional maupun aturan local di negeri Pancasila ini, dalam bentuk nilai, bukan bentuk harfiahnya. Pada saat bersamaan, identitas agama dan budaya lain juga memiliki hak yang setara (Suhadi Cholil (ed), 2008, Resonansi: Dialog Agama dan Budaya, Yogyakarta: Center for Religious & Cross-cultural Studies (CRCS)

Senin, 23 November 2009